3  UTS-3 My Stories for You

Kebohongan Sebelum April

Saya Okto. Sebelum saya melangkah ke dunia kuliah, saya adalah siswa di SMA Al Kautsar yang hari-harinya diisi dengan melamun. Setiap pagi, suara lantunan ayat suci adalah musik yang membangunkan menenangkan saya. Saya selalu duduk di depan kelas menunggu kelas dimulai. Di sanalah saya merasa paling tenang.

Semasa SMA saya mengikuti kegiatan merepotkan tetapi menyenangkan. Matematika lah sesuatu yang dibilang sulit belum tentu, dibilang mudah sudah pasti tidak. Buku-buku rumit penuh rumus dan persoalan adalah game bagi saya. Untuk mencapai tingkat tertinggi saya harus mengikuti latihan yang panjang dan juga beradu pemahaman di perlombaan.

Di tempat perlatihanku, bukan hanya bidang matematika yang ada tetapi juga ada bidang-bidang lainnya. Saya sangat menyukai momen menempuh ilmu bersama di sana. Ada seseorang dari bidang fisika yang menarik perhatian saya. Saya akan menyebutnya "orang itu".

Orang itu merupakan seorang yang sangat rajin, tekun, dan kritis. Dia pernah mendapatkan peringkat yang buruk waktu awal sekolah tetapi bukannya tertinggal dia malah bisa membalikkan posisinya dengan berada di peringkat atas beberapa kali.


“Sebelum kuliah, sebelum April, ada satu kisah yang tidak akan pernah saya lupakan.”


Ruang Diskusi di Antara Rumus

Saya dan 'orang itu' memiliki satu kesamaan tak terucap: dedikasi kami pada ilmu yang kami cintai. Meskipun dia berkutat dengan Hukum Newton dan saya bergelut dengan Teorema Euler, kami sering bertemu di tengah-tengah jeda latihan. Ruang Laboratorium Fisika yang dingin dan penuh peralatan aneh menjadi tempat kami berdiskusi.

Diskusi kami selalu intens. Dia akan menjelaskan mengapa dia yakin suatu perhitungan fisika harus menggunakan metode tertentu, sementara saya akan menantangnya dengan pertanyaan dari sudut pandang matematika murni. Kami berdua adalah api dan air yang saling menyempurnakan; saya memberinya dasar logika yang kokoh, dan dia menunjukkan pada saya bagaimana rumus-rumus abstrak saya menjadi nyata di dunia.

Titik Balik dan Harapan Semu

Menjelang akhir tahun ajaran, suasana di SMA Al Kautsar berubah. Denting jam terasa lebih cepat, dan udara dipenuhi kecemasan serta harapan akan Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT). Di masa-masa itu, intensitas pertemuan kami justru meningkat. Kami tidak hanya membahas soal, tetapi juga masa depan—universitas mana yang kami incar, dan mengapa.

Saat itu, saya sudah mantap dengan pilihan saya: Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) di salah satu institut teknologi terkemuka di Bandung. Sebuah kota yang jauh dari Lampung, tempat kami berada.

“Aku mau ambil Teknik Fisika,” katanya suatu sore, saat kami sedang makan bekal di bawah pohon rindang dekat masjid sekolah. “Di sana, di Kampus Ganesha juga. Tapi aku ambilnya jurusan yang lebih fokus ke material.”

Jantung saya mencelos. Bandung. Kota yang sama. Ada sedikit harapan, sepersek cahaya, bahwa kami mungkin akan terus berbagi senja yang sama, meski di lingkungan kampus yang berbeda.

"Bagus," jawabku, berusaha terdengar datar. "Itu cocok untukmu. Kamu sangat teliti."

Saya ingin mengatakan hal lain—sesuatu tentang betapa saya akan merindukan perdebatan kami, betapa kehadiran kritismu membuat hari-hariku yang melamun menjadi bersemangat. Tapi saya hanya diam. Kata-kata itu terasa berat, terlalu nyata untuk diucapkan oleh seorang Okto yang selalu nyaman bersembunyi di balik buku tebal.

Kabar yang Memisahkan

Pengumuman kelulusan dan hasil SNBT datang nyaris bersamaan. Kegembiraan meluap di mana-mana. Saya berhasil mendapatkan tempat di STEI ITB—impian yang tercapai.

Keesokan harinya, saya melihatnya di koridor. Wajahnya berseri-seri, tetapi bukan karena berita yang saya harapkan.

“Okto, aku diterima!” serunya, berlari menghampiri saya.

Saya tersenyum lebar. “Selamat! Teknik Fisika ITB?”

Dia menggeleng, dan senyum saya perlahan meredup.

“Bukan ITB. Aku diterima di Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom) UI di Depok. Itu jurusan yang sangat aku minati karena fokusnya ke data dan logika. Aku putuskan ambil di sana.”

Dunia terasa sunyi. Depok dan Bandung—dua kota yang terpisah ratusan kilometer. Harapan yang sempat bersinar, kini padam sepenuhnya.

Kami berbicara panjang lebar tentang masa depan—tentang fisika dan ilmu komputer. Kami merayakan pencapaian kami, tetapi di mata saya, kami sedang mengucapkan perpisahan.

Perpisahan di Bawah Senja

Saat itu bulan Maret. Sebelum kuliah, sebelum April, ada satu kisah yang tidak akan pernah saya lupakan.

Perpisahan kami terjadi di hari penerimaan rapor kelulusan. Semua sibuk foto bersama dan bertukar janji. Saya mendekatinya saat dia sedang berdiri sendirian, memandangi bangku di depan kelas—tempat ternyaman saya.

“Semoga sukses di Fasilkom,” kataku, menyodorkan buku matematika berisi tanda tangan teman-teman kami. Dia sudah menandatanganinya.

Dia tersenyum tulus. “Kamu juga, Okto. Aku yakin kamu akan jadi yang terbaik di STEI. Jangan pernah berhenti melamun, ya. Ide-ide terbaik sering muncul saat kita sedang melamun.”

Dia memberikan pelukan singkat, pelukan perpisahan yang terasa seperti janji yang takkan pernah ditepati. Saya membalasnya, merasakan kehangatan yang tak pernah saya duga akan saya rasakan. Itu adalah sentuhan pertama dan terakhir kami.

“Tentu,” bisik saya. Saya ingin mengatakan, “Aku menyukaimu,” tetapi yang keluar hanyalah, “Hati-hati di jalan. Sampai jumpa.”

Kami berpisah di gerbang sekolah itu. Dia menuju Depok, saya menuju Bandung. Saya kembali pada hari-hari saya yang tenang, kini diisi oleh lamunan baru—lamunan tentang dirinya, yang rajin, tekun, dan kritis, yang akan selalu menjadi tokoh utama dalam bab SMA saya.

Dia tidak pernah tahu. Dan mungkin, itu yang terbaik. Cinta pertama saya, seperti soal matematika favorit saya, adalah misteri yang saya simpan sendiri, sebuah solusi indah yang hanya diketahui oleh hati saya.